Bulan Setengah -- eve Dikemas 21/12/2003 oleh Editor Ini tjeritera tentang Djakarta. Di malam Bulan terpotel setengah, bukan kerna dimakan Sang Bhatara Kala. Ini tjeritera tentang Djakarta. Di malam Bulan terpotel setengah, bukan kerna dimakan Sang Bhatara Kala. Malam itu warga Ibu Kota digemparkan oleh tidak bundarnya lagi Bulan di atas langit Jakarta. "Pasti aksi teroris!" kata seorang bapak RT. "Kali ntu ade ubungannye ama tukang nasgor nyang ilang di depan rume Pondok Indah!" kata seorang abang ojek yang konon pernah mencoba minta nomer togel di rumah hantu itu. Macam-macam berita tersiar dari radio, televisi, sampai internet. "Breaking News: Bulan di Atas Langit Jakarta Tinggal Setengah, Siapa Pencurinya?" Mobil polisi yang masih mulus-mulus itu seliweran di mana-mana lengkap dengan sirene yang memekakkan telinga. Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, semua jalan di Jakarta, macet total! Para pegawai menelepon keluarga mereka di rumah lewat handphone, "Mas, aku pulang telat nih... lagi macet." Di sebelah sana sang mas menjawab, "Lha sama Dik, aku malah lagi diinterogasi polisi!" Polisi memang menginterogasi semua orang malam itu. "Di mana saudara pukul 7 tadi? Apa yang sedang anda lakukan saat itu? Apakah saudara bersama seseorang? Apakah saudara kenal dengan Bulan? Apa bintang saudara? bla... bla... bla..." Para ahli astronomi mengeluarkan teropong mereka dan dengan seriusnya mengamati Bulan yang tinggal setengah. Para paranormal mencoba meramalkan bencana apa lagi yang akan menimpa negeri mereka yang sudah kenyang bencana. Para anggota DPR-MPR dengan sedan mewahnya dan sopir mereka mencoba melaju di tengah kemacetan ke gedung MPR untuk "rapat demi rakyat" katanya. Gubernur dan wakilnya mencopot spanduk-spanduk dukungan atas dilantiknya mereka, karena (katanya) mereka benar-benar tidak tahu (atau tidak mau tahu) siapa yang mencuri setengah Bulan, dan takut penyelidikan malah akan membahayakan kedudukan mereka. Ibu Presiden pun berpidato resmi di TVRI dan (dengan sangat terpaksa) direlai oleh stasiun-stasiun TV swasta. Dengan pelan (mungkin sangat pelan, karena sebagian pemirsa terpaksa mengeraskan volume TV mereka) Ibu Presiden membaca pidato yang sudah disiapkan oleh para "pembantunya". Untuk seorang pemimpin negara yang tinggal di Ibu Kota yang sedang kehilangan, Ibu Presiden tampak "sangat tenang". Dan, ibu pun membaca. Malam terasa sangat panjang. Interogasi belum juga selesai. Anggota rapat sudah tertidur di dalam ruangan rapat yang ber-AC. Ibu Presiden tengah dibersihkan make-upnya dari riasan televisi oleh para juru rias kenegaraan lalu dilanjutkan dengan "sleeping beauty", karena besok harus bertolak ke luar negeri untuk kunjungan kenegaraan (katanya). Di pinggir rel dekat Stasiun Senen, Udin dan kedua adiknya--Indun dan Mamat--tinggal di rumah kerdus di sebelah tumpukan botol Aqua dan sampah-sampah. Berbeda dengan warga Ibu Kota yang sedang kebakaran jenggot, Udin pulang dengan wajah penuh debu namun sumringah. "Indun! Mamat! Liat nih, abang bawa apaan!" "Makanan! Cihui! Abang bawa makanan deh pasti!" sambut si kecil Indun. Dari dalam plastik kresek hitam yang kelihatan bersinar keemasan itu, Udin mengeluarkan bawaannya. "Terang banget, Bang!" seru Mamat. "Kayak Bulan!" timpal Indun. "Emang bulan, abang potel tadi bulannya setengah...," jawab sang abang enteng sambil memotong Bulan sedikit dan digantung di atas atap kerdus mereka memakai tali rafia. "Nah, jadi lampu deh!" ujar Udin bangga bak Thomas Alfa Eddison yang baru saja menemukan bola lampu. "Hahaha... abang pintel deh!" gelak si cadel Indun. Mereka pun mulai memotong, membentuk, meliuk-liukkan Bulan yang liat seperti lilin mainan. Ada boneka, mobil-mobilan, sepatu, piring, topi, semuanya memancarkan cahaya bagaikan ribuan kunang-kunang di Manhattan. Di luar sana, Jakarta masih dipekakkan oleh bunyi sirene yang nguing-nguing ke sana-kemari. Telepon yang tak henti berdering. Handphone dengan SMS yang terus pending karena terjadi "turtle neck" di semua sentral GSM. Internet, radio, televisi, semua orang sibuk mencari dengan berbagai macam cara. Semua orang mencari. Kini semua orang merasa kehilangan. Padahal, di malam-malam sebelumnya mereka tak pernah pedulikan Bulan. Anak-anak balita pun bertanya pada ibu mereka "Ma... bulan itu apa sih? Beli di mana? Bagus mana sama PlayStation 2?" Dan berjuta pertanyaan lain dari anak-anak yang hanya tahu layar monitor dan joystick. Dan para ayah baru sadar kalau selama ini sudah menghitamkan bulan dengan sang timbal hitam. Jakarta memang penuh dengan ketidakseimbangan apalagi ketidakadilan. Ketika semua warga tampak resah, bingung dan sedih kehilangan, Udin, Mamat dan Indun malah sedang tertidur pulas dengan wajah menyelipkan senyum, berselimutkan sesuatu yang hangat dan benderang. Bermimpi tentang Neverland dan Peter Pan.